Sistem dan Sejarah Hukum Gereja


Sistem dan Sejarah Hukum Gereja

Sistem dan Sejarah Hukum Gereja
Gereja

SISTEM DAN SEJARAH HUKUM GEREJA

A.   Latar Belakang

Sejak zaman gereja mula-mula, hingga zaman era-postmodern sekarang ini bukanlah hanya pemerintah saja yang memiliki hukum/aturan. Tetapi Gereja Tuhan tidak kalah saing akan hal itu, gereja juga memiliki suatu hukum dan aturan sendiri sebagai sebuah organisasi Gereja. Akan tetapi yang perlu diperhatikan hukum yang dimiliki oleh negara (pemerintah) tidak sama dengan hukum gereja. Hukum gereja mengacu kepada tata atau aturan gereja itu sendiri untuk hidup dan pelayanannya didalam dunia ini. Hukum gereja menata dan mengatur setiap hidup dan pelayanan gereja  untuk membangun kerohanian setiap jemaat. Setiap pelayanannya wajib diatur supaya tidak beratakan/kacau, melainkan sejalan atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Sehingga setiap pelayanan para pelayan Tuhan kepada jemaat dapat maksimal. Oleh sebab itu pada makalah ini, penulis akan membahas sebuah judul yaitu “Sistem dan Sejarah Hukum Gereja”, untuk menambah wawasan dalam berteologi dan untuk memperlengkapi diri menjadi seorang pemimpin gereja yang berkualitas kedepan. Untuk pembahasan lebih lengkap pada makalah ini,  dapat dilihat pada bab-bab berikutnya.

B.   Apa itu Hukum Gereja

Istilah “hukum” dipakai banyak arti  tidak hanya secara khusus, tetapi secara umum. Istilah hukum dalam arti umum adalah gagasan keteraturan, sehingga menjadi norma, kaidah, patokan, ukuran, peraturan, dan memungkinkan juga prakiraan, eksperimentasi, verifikasi dan falsifikasi.  Cangkupan arti umum sangat luas hampir meliputi semua bidang.[1] Oleh sebab itu itu berbicara mengenai “hukum gereja” akan mengerah kepada peraturan-peraturan dalam gerja. Menurut J. L. Ch. Abineno  mengartikan Hukum Gereja sebagai “ilmu yang mempelajari dan menguraikan segala peraturan dan penetapan yang digunakan oleh gereja untuk menata atau megatur hidup dan pelayanannya didunia.”[2] Demikian juga dengan definisi yang diberikan oleh Dr. M. H. Bolkestein, mengatakan bahwa Hukum Gereja adalah “merupakan aturan tentang perbuatan dan kehidupan gereja untuk menyatakan gereja sebagai Tubuh Yesus”. Tetapi sesungguhnya, hukum gereja tidak hanya sekadar mengenai peraturan. Cakupan hukum gereja lebih luas dari sekedar aturan, sebab berbicara mengenai pertanggungjawaban teologis dari aturan gereja.

C.   Istilah-istilah Yang dipakai dalam Hukum Gereja

1.    Ius Canonicum
Istilah “ius canonicum” sudah lazim dipakai. Sejak konsili Nicea tahun 325 dibedakan antara “kanones” (kanon: mistar, ukuran) untuk iman dan tata tertib gerejawi dan “nomoi” (undang-undang) untuk undang-undang sipil. Pada abad ke VIII kanonik dipakai dalam hukum gereja.
2.    Ius Divinum, Ius Sakrum, Ius Pontificium
Istilah-istilah ini kurang tepat, karena menunjukkan hanya salah satu aspek dari hukum gereja.
Ü  Ius divinium adalah hanya sebagian kecil dari hukum gereja yang bersifat ius divinium.
Ü  Ius sacrum adalah sejauh menyangkut hal-hal suci seperti liturgi sebagai perayaan misteri.
Ü  Ius pontificum adalah sejauh Paus sendiri memegang legislatif dan semua hukum gereja merupakan himpunan-himpunan keputusan-keputusan Paus.

Sejak tahun 1917 secara substansial hukum gereja dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK). Tetapi Hukum Gereja dan Kitab Hukum Kanonik tidak boleh disamakan begitu saja, karena diluarnya juga terdapat hukum gereja yang memang dikonsepkan yang tidak dimasukan didalamnya. Demikian juga tidak semua yang dimuat dalam Kitab Hukum Kanonik adalah hukum dalam arti sesungguhnya.[3]

D.   Pandangan Para Teolog Tentang Hukum Gereja

v  Pada abad ke-17 seorang teolog yang sangat terkenal G. Voetius dalam karyanya “Pillitica Ecclesistica”, menyebut Hukum Gereja sebagai ilmu yang suci tentang pemerintahan gereja yang kelihatan.
v  Pada abad ke-20, H. Bouwman dalam karyanya “Gereformeerde Kerkrecht”, ia berkata tentang” hukum yang berlaku dan yang harus berlaku” dalam gereja sebagai lemabaga.
v  Pada abad ke-20 juga seorang ahli teolog yang bernama Th. Haithjema dalam karyanya “Nederlands Hervormde Kerkrecht”, dimana ia tidak mau berkata tentang hukum gereja, tetapi  tentang “orde” atau “peraturan” dalam hidup dan pelayanan gereja.
v  Juga H. Berkhof dalam karyanya “Christelijk Geloof”, dimana ia lebih suka berkata “peraturan” atau “tata gereja” dari pada tentang hukum gereja.[4]

E.   Pengertian Gereja

Beribacara mengenai hukum gereja, terlebih dahulu harus mengerti pengertian gereja itu apa?. Gereja berasal dari bahasa Yunani yaitu disebut ”eklesia”. Istilah Yunani ”eklesia” dibentuk dari perkataan ”ek” (dari) dan ”kaleo” (memanggil), yaitu mereka yang dipanggil keluar. Dalam Perjanjian Baru kata ”eklesia” dipakai kurang lebih dari 115 kali, yakni 10 kali dalam arti gereja seluruhnya (Mat 16:18), dan selebihnya dalam arti gereja lokal atau jemaat setempat (Mis Mat 18:17).[5] Jadi gereja atau ”eklesia” dapat diartikan bagai:
Ü  Persekutuan orang-orang yang dipilih, dipanggil dan ditempatkan didunia ini untuk melayani Allah dan melayani manusia.
Ü  Umat Allah yang “dipanggil keluar dari dalam kegelapan kepada terangn-nya yang ajaib” untuk memberitakan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar (bdg I Petrus 2:9).[6]

F. Sejarah Hukum Gereja

Gereja pada mulanya telah mempunyai peraturan-peraturan sendiri, dan peraturan-peraturan itu maki lama makin berkembang. Penelitian ilmiah tentang peraturan-peraturan itu baru dimulai kira-kira abad XII. Dibawah ini akan diketahui secara jelas bagaimana historis perkembangan Hukum Gereja:
Ü  Sampai abad ke III gereja hidup sebagai suatu perskutuan yang dimusuhi dan disiksa. Terutama dibawah pemerintahan Kaisar Diocletianus dan penganti-pengantinya (abad 303-311).  Pada saat itu gereja hampir tidak bisa menanggung beratnya siksaan yang dialami.
Ü  Pada tahun 312 datang perubahan dalam situasi itu. Dimana Kaisar Constantinus berhasil merampas kekuasaan disebelah Barat dari iparnya Lucianus dan disebelah Timur dari kerajaan Roamwi. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 313 keduanya mengeluarkan “keputusan Milan”  dengan memberikan kebebasan penuh kepada Gereja.
Ü  Keputusan yang penting ini kemudian diikuti oleh peraturan-peraturan lain seperti peraturan penerimaan warisan, peraturan tentang bantuan untuk mendirikan gedung-gedung ibadah yang sangat menguntungkan gereja. Keuntungan ini makin bertambah besar, waktu Constantinus mengalahkan Lucianus, pada tahun 324 dengan sendirian ia memegang kendali pemerintahan.
Ü  Akhir pada tahun 380, gereja diresmikan oleh Kaisar Teodosius menjadi gereja negara. Oleh peresmian ini gereja mulai menata (mengorganisasi) dirinya dan perlahan-lahan menyusun suatu “Hukum kanonik”, yang bukan saja mencangkup peraturan-peraturan untuk hidup kegerejaan tetapi juga untuk perkawinan, warisan, milik gereja, pelanggaran-pelanggaran, dll.[7]
Dari sumber sejarah ini dapat diambil kesimpulan, bahwa gerja mula-mula sudah meiliki peraturan-peraturannya walapun hanya dengan sederhana, dan dengan perubahan suasana tadi, terjadilah perubahan besar dari lembaga yang tidak dakui menjadi lembaga yang diakui dan menjadi gereja negara (380).[8] Dibawah ini dapat dilihat beberapa contoh, bahwa gereja pada mulanya telah mempunayi peraturan sendiri:
Ü  Selain dari padaperaturan etis (moral) dan liturgi, Didakhe (ajaran dari kedua belas rasul) yang disusun kira-kira pada akhir abad pertama. Disitu memuat peraturan-peraturan untuk hidup jemaat seperti peraturan tentang nabi, penatua-penatua (tua-tua) dan diaken-diaken.
Ü  Disamping “Didakhe” kita juga menyebut Traditio opostolica yaitu peraturan-peraturan dari gereja lama yang disusun kira-kira tahun 215 oleh Presbiter Hipolitus di Roma yang kemudian menjadi Uskup disitu.
Ü  Peraturan-peraturan lain yang penting pada waktu itu adalah Didaskalia (yang disusun pada bagian pertama dari abad III) dan Constitutiones apostolorum (yang disusun kira-kira tahun 380), keduanya berasal dari Timur-Tengah kemungkinan dari Syria.
Ü  Terutama konstitusi-konstitusi apostolis yang terdiri dari 8 buku adalah himpunan peraturan-peraturan Gereja yang penting. Buku-buku ini memuat antara lain: peraturan-peraturan “apostolis” tentang pemilihan, penahbisan dan kewajiban para roahiawan. Ciri-ciri dari paraturan ini adalah sifatnya yang “pseodopigrafis” dengan menunjukkan kepada asal-usul “apostolis” dari peraturan-peraturan itu, penyusun-penyusunnya berusaha memberikan wibawa yang lebih besar kepada peraturan-peratuuran tersebut.
Selain dari pada peratuuran-perraturan “apostolis” ini, yaitu peraturan-peraturan yang menurut penyusun-penyusunnya berasal dari para rasul. Sinode-sinode dan konsili-konsili mengambil keputusan-keputusan tentang ajaran, liturgi dan susunan gereja. Keputusan-keputusan (canones) ini dikumpulkan dan disimpan gereja. Disamping keputusan-keputusan (canones), para Paus Eropa Barat mendirikan dekrit-dekrit di bidang hukum (litterae decretales) untuk gereja.
Ü  Pada permulaan abad VI Dionysius Exiguus dari Roma mempersatukan keputusan-keputusan dari sinode-sinode dan dekrit-dekrit dari para Kaisar dari dua koleksi yang kemudian digabungkan menjadi satu dan disebut Corpus canonum atau juga CollectioDionysiana.  Dalam gereja di Spanyol, koleksi ini yang diintrodusir oleh Paus Hadrianus, dan terkenal dengan nama Dionysio-Handriana.
Ü  Sebelum “Dionysio-Handriana” gereja-gereja di Spanyol telah mengenal suatu kitab hukum yang lain dengan nama Hispana, yang menurut orang berasal dari Uskup Isidorus dari Sevilla.
Di Indonesia menurut Abineno, tidak perlu diuraikan secara terinci seperti perkembangan hukum gereja di Eropa Barat. Telah cukup kalau diketahui bahwa oleh perkembangan itu sebagai lanjutan dari perkembangan yang telah ditemukan diatas, hidup orang-orang Kristen semakin banyak dipagari oleh peraturan-peraturan yang dibuat dan disahkan oleh gereja. Penguasa hukum atas Imam dan Gereja, makin lama makin didasarkan oleh anggota-anggota gereja sebagai beban yang berat dan karena itu tidak disukai. Oleh sebab itu, mau tidak mau akan timbul reaksi terhadapnya.[9]

G.    Sistem/susunan yang dipakai dalam Organisasi Gereja

Didalam sebuah oraganisasi gereja ada empat bentuk sistem/susunan oragnisasi gereja:
*      Sistem/susunan Papal
Organisasi gereja Katolik Roma adalah Papal. Istilah Papal berasal dari kata “Papas” artinya Bapa. Dari Papas inilah kemudian menjadi istilah Paus. Paus dianggap sebagai pengganti atau Vicaris dari Petrus dan Petrus dianggap sebagai Vicaris Kristus. Bentuk organisasi ini ialah hierarkis (susunan berderajat/bertingkat), Hieros artinya Imam dan Arheim artinya memerintah. Dibawah Paus ada majelis Kardinal, jumlahnya kurang lebih 70 orang. Untuk memilih Paus Kardinal inilah yang akan memilihnya, peraturannya 15 hari setelah Paus wafat, majelis Kardinal akan memilih Paus yang baru disebuah tempat yang tertutup disebut Conclaaf. Paus yang terpilih jikalau hasil pemilihan itu sudah mencapai jumlah dua pertiga dari suara yang memailihnya, kalau belum tercapai, mereka terus memilihny secara tertutup samapai ada yang terpilih.
Dalam Roam Katolik tiap-tiap propinsi dibagi atas beberapa keuskupan yang dikepala Uskup. Keuskupan dibagi lagi atas beberapa Dekanant yang dikepalai oleh Pastor, dan Pastol dibantu oleh seorang Kapelan.  Daerah pekabaran Injil Roma Katolik dikepalai oleh seorang Apostolis Vicaris atau Apostolis Prefact. Apostolis Prefact mengepalai sebuah misi yang paling dalam pertumbuhan. Prefact itu belum diurapi sebagai Uskup, tetapi daerah Apostolis Prefact langsung dibawah perintah Paus.  Dalam konsili Vatican I (1870-1977)  ditetapkan bahwa “Paus tidak dapat silaf apalagi salah jika dia berbicara Excatedra (secara resmi berbicara dikursi suci di Vatican).” Inilah yang disebut “Onfeilbaarheid”,  dari Paus artinya “Paus tidak bisa diganggu gugat kalau ia berbicara excatedra”. Gereja Roma Katolik mempersatukan kuasa dan pengaruh Kristus dengan kuasa dan pengaruh gereja didunia ini. Bentuk Papal ini kelihatannya sebagai suatu bentuk organisasi duniawi yang kuat oleh karena ia didirikan menurut pertingkatan (hierarki) sama seperti pemerintahan dalam suatu negera.
*      Sistem/susunan Episkopal
Istilah Episkopos misalnya dalam Kis 20:28, berarti gembala, penilik  dan akhirnya penilik ini mendapat penekanan dalam pengertian Roma Katolik yang akhirnya menjadi Bishop (Uskup). Peraturan Episkopal timbul ditengah gereja Roma Katolik sebagi kritik terhadap bentuk Papal. Yang mengkritik ini tidak menerima kuasa Papas (Paus) yang tidak terbatas. Tetapi pengkritik ini menghendaki agar Paus itu tunduk kepada konsili. Dikalangan Roma Katolik timbul golongan Kurialis dan Konsiliaris. Golongan Kurialis menghendaki adanya bentuk Papal, sedangkan golongan Konsiliaris menghendaki agar kuasa Paus dibatasi dan tunduk kepada keputusan konsili (konsili: utusan uskup-uskup yang bersidang). Jadi disini kuasa tertinggi ditangan rapat (persidangan uskup-uskup). Hal ini bagi orang protestan, keputusan tertinggi ialah keputusan persidangan Sinode (utusan semua jemaat-jemaat, bukan hanya pendeta-pendeta).
*      Sistem/susunan Presbyterian Synodal
Istilah ini berasal dari “presbiteros” dan “sunhodas/sunhados”. Prebiteros adalah “penetua-penetua”, sun  artinya “bersama-sama” dan hados artinya “jalan”. Sinode (dari Sun Hados) berarti bersama-sama mencari jalan,  tidak ada totaliter atau otoriter/kekerasan yang hendak memaksakan kehendak seseorang atau satu-satu golongan. Penyebab disebut Synodal karena harus melalui sinode/berjalan bersama-sama/sama-sama mencari jalan. Dan utusan dari semua gereja-gereja; bukan hanya pendeta-pendeta yang menjadi anggota peserta sinode itu. Disebut presbiterial sebab sesudah memulai rapat atau persidangan presbiteros (penetua-penetua) didalam jemaat-jemaat lokal; maka majelis-majelis jemaat-jemaat lokal Congregation mengutus utusannya. Ini garisnya “dari bawah keatas”.  Tetapi mungkin ada juga pemikiran dari pemimpin (atas) dikirim kebawah untuk dibahas.

Gereja Jemaat setempat
Didalam presbiterial synodal ada hubungan timbal balik “dari bawah keatas” dan “dari atas kebawa”.
*      Sistem/susunan Congregational (Independentisme)
Peraturan Congregationalisme asalnya dari Robert Parker yang dipengaruhi oleh sekte Anabaptis, ia adalah seorang Inggris. Di tanah/negeri Inggris, oorang-orang Congregationalisme memisahkan diri dari gereja negara (Anglican) dan membentuk jemaat-jemaat sebagai imbangan dari gereja keseluruhan. Setiap “Congregation” (jemaat setempat) dianggap sebagai perhimpunan orang-orang beriman yang berdiri sendiri. Mereka mendasarkan pendiriannya kepada Matius 18:20 “dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku....”. Diantara jemaat-jemaat Congregationalisme tidak ada hubungan. Setiap jemaat setempat adalah independen (berdiri sendiri), kekuasaan terletak ditangan jemaat setempat.
Kelemahan dan kekurangan dari pada susunan Congregationalisme ialah mengabaikan persekutuan segala orang kudus. Didalam Congregationalisme, jemaat itu sendiri yang memilih, memindahkan, mengangkat, dan memberhentikan penjabat-penjabatnya. Walaupun ada pertemuan dengan jemaat-jemaat lain, pertemuan itu dianggap selaku musyawarh saja dan keputusan-keputusan tidak mengikat. Setiap jemaat berwenang untuk menjalankan keputusan itu atau menolaknya.
*      Sistem/susunan Caesaropapal atau Caesaropapaisme
Caesaropapal adalah bentuk sistem/susunan gereja yang dalam peraturan gerejanya memberikan kekuasaan terbesar kepada raja (kepada Caesar atau Tsar). Peraturan ini terdapat digereja Yunani yang Orthodoks. Peraturan ini disebut sebagai peraturan Bizantium.  Negara memberikan perlindungan kepada gereja, akan tetapi negara mempunyai hak untuk mencampuri urusan gereja. Caesar Constantinus Agung pada permulaan abad IV sudah mencobanya pada zaman dahulu, tetapi tidak diterima sesudahnya. Dasar-dasar Caesaropapal ada juga dalam gereja Anglican. Begitu juga terdapat digereja Lutheran di Norwegia.

*      Sistem/susunan Gereja Collegial
Istilah collega artinya teman. Gereja Collegial adalah berdasarkan perhubungan teman-teman.  Menurut peraturan ini, kekuasaan terletak dalam tangan anggota gereja sendiri yang memilih pengurusnya sebagai anggota perkumpulan biasa. Segala kepengurusan ditetapkan dengan dasar suara terbanyak, demokrasi. Keputusan itu harus dilaksanakan walaupun bukan kehendak Kristus. Dasar-dasar keduniawian yang lazim untuk perkumpulan dipakai dalam peraturan itu untuk gereja.
Sistem seperti ini sangat bertentangan dengan kekristenan, karena didalam gereja Tuhan bukan demokratisein (demos krazein), tetapi Kristus-sentris (Kristus-krazein) artinya pemerintahan Kristus, tidak selalu suara terbanyak menjadi kebenaran. Dalam gereja Collegial ini yang perlu ialah “pandai-pandai hidup” yang dicari dan digalang. Kalau dibandingkan dengan “vox populi vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan). Hal seperti ini akan sangat berbahaya.bagi gereja bukan suara rakyat/demokrasi itu yang selalu menjamin kebenaran tetapi vox dei (suara Allah). Vox die itulah yang harus kita suarakan. Jangan pandai-pandai hidup, tetapi harus bersaksi. Menjadi seorang Hamba Tuhan, tidak muda bila ia menjadi Hamba Tuhan yang bersaksi. Menjadi Hamba Tuhan yang pandai-pandai hidup, itulah yang mudah tetapi tidak ada prinsip.[10]

H. Kesimpulan

Penulis menarik kesimpulan bahwa hukum gereja adalah sebagai peraturan gereja yang digunakan untuk menata dan mengatur kehidupan pelayanan dalam gereja. Hukum gereja tidak hanya muncul pada abad pertengahan hingga sekarang ini, tetapi sudah ada sejak munculnya gereja didunia ini (sejak gereja mula-mula). Hukum gereja sangat penting untuk menyatukan dan memaksimalkan pelayanan kepada jemaat, agar mereka dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang diharapkan (untuk membawa kemuliaan bagi nama TUHAN). Para pelayan-pelayan Tuhan, tidak boleh melakukan pelayanan dengan semaunya sendiri, harus mengikuti peraturan yang sudah ditata atau ditentukan didalam sebuah organisasi gereja tersebut. Dan juga harus melakukan pekerjaan atau pelayanannya sesuai dengan jabatan yang ia miliki.


Mau Dapat Uang Saat Internetan, Tanpa Modal Dan Bukan Tipu-Tipu : Klik Disini


0 comments:

Post a Comment